Sebenarnya sejumlah perusahaan telah menerapkan kebijakan serupa beberapa tahun terakhir khususnya setelah keputusan Mahkamah Agung tahun 2011 dalam kasus AT&T melawan Concepcion. Preseden tersebut membuka jalan bagi perusahaan untuk melarang gugatan class action dengan menggunakan kontrak standar yang mensyaratkan bahwa perselisihan harus diselesaikan melalui mekanisme informal yaitu arbitrasi personal.
Baca: Perubahan Perpres Pengadaan Barang dan Jasa
Perusahaan kartu kredit dan telepon selular telah menerapkan pembatasan semacam itu kepada konsumen dalam kontrak pembelian mereka. Perusahaan terus mendorong penyelesaian sengketa di luar persidangan, namun para ahli hukum mengatakan bahwa perusahaan makanan mencoba menerapkan batasan kepada kewenangan menggugat konsumen di peradilan memunculkan resiko baru.
Misalkan seorang anak alergi terhadap kacang dan mengkonsumsi sebuah produk makanan yang mengandung serbuk kacang dan secara tidak sengaja tidak ada informasi akan kandungan makanan dalam kemasan produk makanan tersebut? Menarik peredaran produk makanan kemasan karena alasan kesalahan pelabelan, termasuk kelalaian dalam mengidentifikasi serbuk kacang dalam produk, cukup sering terjadi.
Baca: Contoh Kasus Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat
Industri makanan berkaitan erat dengan kesehatan manusia, lebih parah lagi, dapat menyebabkan kematian seseorang. Pengacara dari Public Citizen menanggapi kondisi ini dengan mengatakan bahwa terdapat perbedaan resiko yang sangat besar antara keuntungan yang didapatkan perusahaan dari penerapan kebijakan seperti itu dalam “kontrak” pembelian produk dan kewenangan untuk mengatakan bahwa konsumen “tidak berhak menggugat”. Itu sebabnya kebijakan semacam ini bermakna luas sekali dibandingkan kontrak pembelian pada umumnya.