Di era teknologi informasi dan komunikasi yang kian berkembang, sarana dan jaringan komunikasi tidak saja penting bagi hubungan antar individu tetapi juga pada berbagai aspek kehidupan, mulai dari bisnis, pendidikan, kesehatan, dan masih banyak lagi. Sayangnya sarana dan fasilitas tersebut belum tersebar merata dan belum bisa diakses oleh sekelompok masyarakat, terutama yang tinggal di kawasan terpencil.
Sebagai generasi yang lahir dan tumbuh di kota besar seperti Surabaya, dulu, saya pun hanya tahu bagaimana caranya menikmati fasilitas yang tersedia. Hal ini tentunya sangat bertolak belakang dengan apa yang dirasakan masyarakat yang berada di daerah pinggiran, atau bahkan di pedalaman.
Saya pun baru menyadarinya ketika saya harus menempuh kuliah kerja nyata (KKN), yaitu ketika ditempatkan di kawasan pedesaan. Ya, waktu itu, di pertengahan tahun 2010, kelompok KKN saya ditempatkan di kawasan Desa Tanjung Bumi, Bangkalan. Sebuah desa di ujung utara Kabupaten Bangkalan-Madura.
Awalnya saya dan teman-teman sempat berpikir, barangkali kondisi di sana tidak akan jauh berbeda dengan di Surabaya. Mengingat lokasinya tidak terlalu jauh, di sisi utara Kota Surabaya. Namun, perkiraan tersebut ternyata tak sesuai dengan kenyataan.
Desa yang akan kami tempati selama kurang lebih 3 bulan adalah desa yang berada di ujung utara Kota Bangkalan. Tepatnya berada di pesisir utara Pulau Madura, sekitar 48 km atau sekitar 90 menit berkendara dari pusat Kota Bangkalan.
Setelah mengetahui fakta tersebut, saya dan teman-teman mulai menyiapkan mental. Bukan saja untuk menghadapi pola kehidupan yang berbeda, tetapi juga untuk bisa mengenal masyarakat Madura yang terkenal dengan serentetan stereotip negatif. Di antaranya keras, kasar, kolot, dan lain sebagainya.
Namun, di balik segala keresahan, terselip juga sebuah kebahagiaan, mengingat kami akan melintasi jembatan terpanjang di Indonesi, Jembatan Suramadu, yang di tahun 2009 lalu telah diresmikan oleh Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono. Selain itu, lokasi desa yang kami tempati berada di pesisir utara Pulau Madura dan terkenal dengan keindahan alam dan lautnya. Tentu, hal ini menjadi kebahagian tersendiri bagi kami yang tengah jenuh dengan rutinitas dan pengapnya kota besar.
Pengalaman Pertama di Pulau Madura
XL madura – restorasinews.com
Meski secara geografis pulau ini sangat dekat dengan kota tempat saya tinggal—hanya berbatas Selat Madura—saya belum pernah sekali pun menginjakkan kaki di pulau garam ini. Jadi, bisa dibilang KKN ini adalah kali pertama saya bertandang ke pulau ini. Tidak tanggung-tanggung, kali ini saya harus tinggal selama kurang lebih 3 bulan.
Ketika memasuki kawasan Pulau Madura, saya dan rombongan disuguhi dengan gagahnya Jembatan Suramadu yang membentang sepanjang 5.4 km di atas Selat Madura. Waktu itu, kami juga menyempatkan diri untuk mengabadikan momen dengan berfoto di area jembatan. Mengingat jembatan ini tengah populer dan naik daun, bisa berfoto di sana tentu menjadi sebuah kebanggaan tersendiri, bukan?
Setelah puas berfoto dan berniat untuk mempostingnya di facebook, ada satu kenyataan baru yang harus kami terima. Tidak adanya sinyal dan jaringan. Bahkan, hal ini pun berlaku bagi layanan seluler terbaik di Indonesia, yang kala itu saya gunakan.
Baca: Peta Terminal 3 Bandara Soekarno Hatta
Beragam spekulasi pun mulai bermunculan. Apa karena kami sedang berada di tengah laut? Atau memang daerah ini yang belum terjangkau jaringan secara maksimal? Jika ya, itu berarti selama 3 bulan kami akan kesulitan untuk berkomunikasi?
Setelah tiba di lokasi desa, kami pun mulai berinteraksi dengan masyarakat dan perangkat desa. Sejak saat itu pula saya tahu bahwa sinyal terbaik di tempat ini—juga di Madura secara umum—adalah sinyal XL.
Karenanya, tak heran jika mayoritas orang Madura menggunakan operator seluler yang identik dengan warna biru ini. Bahkan, XL pun telah menasbihkan dirinya sebagai ‘Kartunah reng Madhure’ (kartunya orang Madura).
Dan demi kelancaran komunikasi dan informasi, kami pun beralih menggunakan kartu XL, termasuk juga untuk kebutuhan berinternet. Baik itu untuk paket internet XL mobile/ponsel, maupun untuk internet modem.
Baca: HP Kamera Depan Terbaik Harga 1 Jutaan
Untuk pembelian paket internet XL pun kami lakukan secara manual, yakni dengan membeli pulsa reguler dan kemudian mengonversinya dalam bentuk paket sesuai dengan kebutuhan.
Waktu itu, mengingat masih terbatasnya layanan pembelian pulsa online, serta lokasi desa yang terpencil untuk mencari sebuah konter pulsa, kami memutuskan untuk mendirikan agen pulsa sendiri. Salah satu dari kami berjualan pulsa, untuk memudahkan kebutuhan kami akan pulsa dan paket internet XL selama 3 bulan berada di tempat ini.
Tentu, hal ini sangat jauh berbeda dengan kondisi saat ini. Sekarang kita bisa dengan mudahnya bertransaksi secara online. Bahkan kita bisa membeli paket internet XL di situs Traveloka. Ya sembari memesan tiket pesawat dan hotel, kita juga bisa sekaligus melakukan top up pulsa di Traveloka. Praktis dan cepat.
Seiring berjalannya waktu, masa KKN pun berakhir. Dalam kurun waktu 3 bulan kami telah belajar segala hal tentang kehidupan bersama masyarakat setempat. Tentang keceriaan anak-anak desa yang belajar dalam keterbatasan, juga tentang masyarakat desa yang selalu tersenyum dalam kesederhanaan.
Baca: 9 Kota Tempat Merantau Menjanjikan Selain Jakarta
Meski kontribusi kami belum seberapa, tapi kami sangat senang telah berhasil mengenalkan internet dalam dunia bisnis mereka. Seperti yang kita tahu, bahwa desa ini adalah salah satu dari sekian desa di Madura yang terkenal dengan produksi batik tulisnya.
Kami berharap, setelah ini, pemasaran dari batik-batik masyarakat setempat bisa menjadi semakin luas dan berkembang. Hingga kemudian, perekonomian masyarakat setempat pun bisa membaik dan meningkat. Semoga.