Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) dalam beberapa pekan terakhir telah menunjukkan tren penguatan yang cukup signifikan. Terhitung dari 31 Juli hingga 20 Agustus 2024, rupiah menguat dari Rp16.255/US$ menjadi Rp15.430/US$, melonjak sebesar 5,07%. Namun, di balik performa yang menggembirakan ini, banyak analis memprediksi bahwa apresiasi rupiah ini tidak akan bertahan lama. Lantas, apa yang menjadi penyebab utama mengapa dolar AS diperkirakan akan melemah di akhir tahun dan bagaimana nasib rupiah ke depannya?
Pemangkasan Suku Bunga The Fed
Salah satu faktor utama yang mempengaruhi nilai tukar rupiah adalah ekspektasi pemangkasan suku bunga oleh The Federal Reserve (The Fed). Survei perangkat FedWatch menunjukkan bahwa pasar memperkirakan The Fed akan memangkas suku bunga pada pertemuan September 2024, dengan potensi penurunan sebesar 25-50 basis poin (bps). Pemangkasan suku bunga ini akan menurunkan yield dolar AS, yang dapat melemahkan nilai tukar dolar terhadap mata uang lainnya, termasuk rupiah. Jika prediksi ini terwujud, rupiah berpotensi menguat lebih lanjut.
Survey lainnya memperlihatkan proyeksi nilai tukar rupiah akan berada di sekitar Rp16.000/US$ hingga akhir tahun 2024. Angka ini menunjukkan bahwa meskipun rupiah saat ini menguat, terdapat kemungkinan nilai tukar rupiah akan melemah kembali menjelang akhir tahun.
Kebutuhan Dolar untuk Utang dan Impor
Kebutuhan dolar AS untuk utang jatuh tempo serta impor minyak menjelang periode liburan akhir tahun turut menjadi faktor yang berpotensi menekan nilai tukar rupiah. Kondisi itu dipresiksi akan sebabkan nilai tukar USD/IDR akan berada di level Rp16.100/US$ dengan trading range antara Rp15.700-Rp16.200/US$. Permintaan dolar yang meningkat di akhir tahun untuk memenuhi kebutuhan utang dan stok minyak dapat memberikan tekanan pada rupiah.
Surplus Neraca Dagang yang Menipis
Satu lagi faktor yang perlu diperhatikan adalah penurunan surplus neraca perdagangan Indonesia. Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa surplus neraca perdagangan Indonesia per Juli 2024 hanya sebesar US$0,47 miliar, jauh di bawah konsensus pasar yang memperkirakan surplus mencapai US$2,5 miliar. Kondisi surplus perdagangan yang lebih rendah dari yang diharapkan dapat mengganggu apresiasi rupiah dan berpotensi memperlebar defisit akun berjalan (CAD) Indonesia. Jika lonjakan impor yang tajam disertai dengan peningkatan harga impor, ini dapat menambah tekanan inflasi dan memperumit prospek ekonomi.
Dinamika Suku Bunga dan Aliran Portofolio Asing
Data terbaru dari AS menunjukkan penurunan inflasi dan melemahnya pasar tenaga kerja, yang mengarah pada ekspektasi pemotongan suku bunga lebih lanjut. Hal ini dapat menekan nilai dolar AS (DXY) dan memberikan ruang bagi rupiah untuk menguat. Bank Indonesia (BI) juga telah berhasil menarik aliran masuk portofolio asing ke dalam Sertifikat Rupiah Bank Indonesia (SRBI) dengan aliran masuk mencapai US$10,7 miliar tahun ini, dibandingkan dengan aliran keluar dari obligasi rupiah sebesar US$1,8 miliar. Jika pemotongan suku bunga oleh The Fed berlanjut dan aliran portofolio asing tetap kuat, ini dapat mendukung penguatan rupiah.
Asia Research ANZ, mengingatkan kinerja rupiah selama siklus pelonggaran The Fed di masa lalu bervariasi. Jika pelonggaran kebijakan terjadi dalam lingkungan global yang lemah, rupiah cenderung tertekan. Oleh karena itu, apakah ekonomi AS bisa membaik (soft landing) akan menjadi kunci bagi prospek nilai tukar rupiah ke depannya.
Secara keseluruhan, meskipun ada faktor-faktor yang mendukung penguatan rupiah, seperti potensi pemangkasan suku bunga oleh The Fed dan aliran portofolio asing yang kuat, tekanan dari kebutuhan dolar di akhir tahun, surplus neraca perdagangan yang menipis, serta ketidakpastian ekonomi global dapat membuat kurs dolar AS melemah dan menekan nilai tukar rupiah menuju level Rp16.000/US$ pada akhir tahun 2024.