Pada 2007, gerakan lingkungan mulai mempertanyakan keberlanjutan kantong plastik polietilen. Plastik ini adalah tas yang lazim ditemukan di toko kelontong di seluruh dunia; kecil, berkerut dan sebenarnya dapat didaur ulang.
Masalah besar dengan kantong polietilen adalah sangat sedikit orang yang menerapkan mendaur ulangnya.
Di Amerika Serikat misalkan, sekitar 1 persen dari 100 miliar kantong polietilen yang digunakan setiap tahun dapat didaur ulang. Di seluruh dunia, kantong plastik jenis ini mendarat di pantai, terjebak di semak-semak dan memberikan bahaya umum bagi satwa liar.
Terlebih lagi, ketika dibiarkan terdegradasi di bawah sinar matahari, kantong plastik polietilen membutuhkan waktu sekitar 1.000 tahun untuk sepenuhnya rusak secara alami. Ketika plastik ini berakhir di tempat pembuangan sampah, mereka mungkin tidak pernah rusak karena sinar matahari biasanya tidak ada di tengah tumpukan yang diisi dengan beberapa ton sampah.
Untuk mengurangi masalah akumulasi kantong plastik polietilen, beberapa kota banyak negara telah membuatnya mahal untuk digunakan konsumen. Pada 2008 misalkan, kota San Francisco mengeluarkan undang-undang yang melarang tas belanja plastik di toko-toko kelontong dan apotek.
Kota ini mengikuti negara-negara seperti India, Afrika Selatan dan Rwanda dalam larangannya. Termasuk Indonesia, beberapa kota menerapkan larangan pemakaian kantong plastik. Salah satunya kota Bogor melalui Peraturan Wali Kota Nomor 61 Tahun 2018 tentang Pengurangan Penggunaan Kantong plastik.
Namun sebenarnya, bukan hanya tas belanjaan yang menimbulkan masalah. Semua kantong plastik pada prinsipnya tidak ramah lingkungan.
Selain mengambil waktu 1 milenium untuk terdegradasi, plastik menggunakan minyak bumi sebagai bahan utama. Minyak mentah yang sama yang berarti juga bahan bakar mobil sebagai bensin juga digunakan untuk memproduksi plastik. Karena minyak adalah zat yang tidak terbarukan, kantong plastik bukanlah produk yang berkelanjutan. Ketika kita semakin dekat (atau telah melewati) puncak penggunaan minyak – titik kritis di mana persediaan minyak mulai menurun – minyak bumi siap menjadi lebih berharga sebagai sumber energi untuk membantu umat manusia melewati kecanduan minyaknya. Dengan kata lain, kita akan membutuhkan minyak itu untuk memberi daya pada dunia dalam beberapa tahun mendatang lebih banyak daripada yang kita perlukan untuk membuat kantong plastik.
Karena sifat plastik yang tidak ramah lingkungan dan tidak berkelanjutan, beberapa produsen mencari sumber bahan baku yang lebih baik untuk produksi kantong plastik. Setidaknya ada sebuah teknologi yang telah menemukan cara untuk membuat plastik yang tidak hanya berkelanjutan, bahkan dapat dilemparkan ke tempat sampah kompos. Rahasianya ternyata terletak pada jagung.