Kekuatan nilai mata uang mengindikasikan kekuatan ekonomi negara sepertinya memang menjadi keyakinan publik secara umum menyikapi nilai tukar rupiah terhadap dollar amerika.
Namun sebenarnya apakah memang nilai mata uang rupiah terhadap mata uang asing lain dapat mengindikasikan kondisi ekonomi Indonesia?
Ulasan inilah yang akan diugkap dalam bahasan kali ini. Jika Anda tertarik untuk mengetahuinya? Jangan sampai tidak membaca ulasannya ya.
Lantas bagaimana jawabannya?
Akan bergantung pada bagaimana penilaian nilai mata uang itu. Jika Anda hanya melihat pada nilai mata uang saat ini misalkan 1 USD setara Rp 15.000,- maka Anda akan melihat secara salah bahwa Rupiah lemah dan ekonomi sangat buruk di negara Indonesia.
Umumnya, adanya nilai tukar mengindikasikan buruknya kemajuan ekonomi. Hiperinflasi dan depresiasi mata uang umumnya menjadi penyebab disparitas mata uang itu.
Namun demikian, relevansi dari kondisi itu hanya penting jika depresiasi memang terjadi. Misalkan untuk pembelajaran adalah Won Korea yang telah meningkat dari USD1 = 125 won menjadi USD 1 = 1,333 won.
Ini merupakan kasus nyata adanya depresiasi mata uang, namun, kecuali kenaikannya tahun 2008, nilai won Korea relative pada dollar amerika di kisaran 1,200 won selama 10 tahun.
Dalam kasus won Korea itu, nilai tukar hanya mengindikasikan bahwa pada titik tertentu dalam sejarah mata uangnya, ada depresiasi yang cepat.
Kondisi itu tidak memberikan indikasi apapun dari keadaan won Korea sebenarnya, yang cenderung stabil menghadapi dollar amerika.
Dengan demikian, untuk menentukan kekuatan sebenarnya dari mata uang, kita harus melihat nilainya dari waktu ke waktu.
Tentu saja, ini hanya berfungsi dengan won Korea karena menganut mekanisme floating bebas. Ini berarti nilai won ditentukan oleh kekuatan pasar.
Negara lain memilih stabilitas nilai tukar dengan patokan tertentu. Nilai mata uang tidak menggambarkan kondisi ekonomi domestik yang sebenarnya.
Dalam beberapa kasus, tidak ada patokan resmi, namun negara-negara mencoba untuk menjaga nilai tukar yang stabil. Misalkan Ukraina mencoba untuk menjaga USD 1 setara 8 hryen sebagai nilai tukarnya, namun dikarenakan banyak masalah ekonomi, nilai tukar itu dinilai tidak akan bertahan oleh banyak kalangan. Maka dari itu, stabilitas nilai tukar tidak merefleksikan keadaan sebenarnya dari kondisi ekonomi.
Kondisi unik lainnya dari Swiss dimana nilai dari Swiss franc meningkat beberapa tahun lalu karena spekulasi mata uang.
Ekonomi Swiss tidak lebih baik dari negara lain di masa lalu, namun karena situasi tidak menentu di pasar Eropa lainnya, spekulan mata uang mulai membeli Swiss Franc.
Karena Swiss negara kecil, aksi spekulan itu memberikan dampak besar pada nilai mata uangnya.
Namun demikian, karena apresiasi mata uang bukan merupakan hasil naiknya produktivitas, kuatnya mata uang Swiss itu malah menghancurkan sektor manufaktur dan kalangan eksportir karena membuat produk buatan Swiss menjadi lebih mahal dibandingkan produk impor.
Dengan kata lain, ada banyak faktor yang dapat mempengaruhi nilai mata uang negara diluar kesehatan ekonominya.
Ketika melihat performa terkini sebuah mata uang, sebuah apresiasi gradual umumnya mengindikasikan kekuatan, namun lihatlah faktor lainnya yang mungkin mempengaruhi nilai mata uang.