Jaringan kedai kopi global, Starbucks, menanggapi tuduhan mengenai pemberian dukungan finansial kepada Israel yang dikaitkan dengan perusahaan mereka. Starbucks menegaskan mereka tidak memberikan dukungan finansial atau keuntungan kepada pemerintah Israel atau angkatan bersenjatanya dalam bentuk apapun.
Starbucks tercatat sebagai salah satu perusahaan global yang terkena dampak sentimen negatif terhadap Israel. Sentimen ini muncul sejak agresi Israel terhadap Gaza, Palestina, yang mengakibatkan banyak korban di kalangan warga sipil Palestina.
“Posisi kami tetap tidak berubah. Starbucks berdiri untuk kemanusiaan. Kami mengutuk kekerasan, kehilangan nyawa tak berdosa, serta segala bentuk kebencian dan ucapan yang dimanfaatkan untuk kekerasan,” demikian bunyi pernyataan di situs web mereka.
Pernyataan ini juga disampaikan oleh Starbucks Indonesia melalui akun Instagram resminya @starbucksindonesia.
Starbucks menegaskan bahwa baik perusahaan maupun mantan ketua, presiden, dan CEO-nya, Howard Schultz, tidak memberikan dukungan finansial kepada pemerintah Israel dan/atau Angkatan Bersenjata Israel dengan cara apapun.
“Kami tidak menggunakan keuntungan kami untuk mendanai operasi pemerintah atau militer di mana pun – dan tidak pernah melakukannya,” jelas Starbucks di situs web mereka.
Starbucks mengungkapkan bahwa disinformasi mengenai dukungannya kepada Israel telah mengakibatkan kekerasan dan vandalisme di beberapa gerai mereka di seluruh dunia. Namun, perusahaan mengakui bahwa mereka pernah beroperasi di Israel sebelum menghentikan operasinya pada tahun 2003 karena masalah operasional.
“Kami tidak membuat keputusan bisnis berdasarkan isu politik. Kami memutuskan untuk menghentikan kemitraan kami di Israel pada tahun 2003 karena tantangan operasional yang terus berlanjut yang kami alami di pasar tersebut.”
Sebelumnya, CEO Starbucks, Laxman Narasimhan, menanggapi protes terhadap produk perusahaan yang dianggap pro-Israel. Menurutnya, protes tersebut muncul akibat kesalahpahaman terhadap sikap Starbucks dalam konteks Israel-Hamas. Ia mengatakan bahwa protes tersebut timbul akibat misrepresentasi atau informasi salah yang beredar di media sosial.